Siapa yang tidak mengenal Fatmawati Soekarno, beliau merupakan Ibu Negara Pertama dari Presiden Pertama Indonesia yaitu Presiden Soekarno dan juga dikenal sebagai penjahit bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Fatmawati Soekarno
lahir pada hari Senin, 5 Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di Kota
Bengkulu, sebagai putri tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti
Chadidjah. Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat
sistem kolonialisme yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Ayahandanya, Hassan Din semula adalah pegawai perusahaan Belanda,
Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak mau meninggalkan kegiatannya
sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar dari perusahaan itu.
Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah
kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta antara Bung Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.
Pada tahun 1943 Bung Karno
menikahi Fatmawati, dan oleh karena Fatmawati masih berada di Bengkulu,
sementara Bung Karno sibuk dengan kegiatannya di Jakarta sebagai
pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), pernikahan itu dilakukan dengan
wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter Sardjono. Pada 1 Juni
1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke Jakarta,
melalaui jalan darat, sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam
perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Perjalanan sepasang merpati
penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur,
Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera
rumah tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita
lain bernama Hartini. Inilah salah satu pangkal sebab terjadinya
perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarno membacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.
Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno. Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara tersebut dan menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung Karno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul hadirnya tentara NICA yang membonceng kedatangan tentara sekutu.
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarno membacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.
Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno. Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara tersebut dan menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung Karno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul hadirnya tentara NICA yang membonceng kedatangan tentara sekutu.
Ibu Fatmawai dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang tahun
perkawinan, Jangankan kawin perak atau kawin emas, ulang tahun
pernikahan ke-1, ke-2 atau ke-3 saja tidak pernah. Sebabnya tak lain
karena keduanya tidak pernah ingat kapan menikah. Ini bisa dimaklumi
karena saat berlangsungnya pernikahan, zaman sedang dibalut perang. Saat
itu Perang Dunia II sedang berkecamuk dan Jepang baru datang untuk
menjajah Indonesia.
"Kami tidak pernah merayakan pernikahan perak atau pernikahan emas. Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat," begitu cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda, terbitan Pustaka Antar Kota, 1978.
Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang penuh dengan gejolak perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia mencapai kemerdekaan. Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan fisik mencapai puncaknya. Bung Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen penting perjuangan bangsa. Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun. Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Putra-putri Bung Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh mengingat Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati sangat pandai menari.
"Kami tidak pernah merayakan pernikahan perak atau pernikahan emas. Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat," begitu cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda, terbitan Pustaka Antar Kota, 1978.
Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang penuh dengan gejolak perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia mencapai kemerdekaan. Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan fisik mencapai puncaknya. Bung Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen penting perjuangan bangsa. Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun. Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Putra-putri Bung Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh mengingat Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati sangat pandai menari.
Di kota gudeg itu, Ibu Fatmawati mendapatkan banyak simpati, karena
sikapnya yang ramah dan mudah bergaul dengan berbagai lapisan
masyarakat. Sebagai seorang Ibu Negara, Ibu Fatmawati kerap mendampingi Bung Karno
dalam kunjungan ke berbagai wilayah Republik Indonesia untuk
membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda dan mengikuti
kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai Negara sahabat. Peran serta
wanita dalam pembangunan telah ditunjukkan Ibu Fatmawati, beliau sering
melakukan kegiatan social, seperti aktif melakukan pemberantasan buta
huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan maupun
ekonomi. Pada tahun 14 Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan
jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah yang lalu
dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Kata-kata terakhir beliau sebelum
meninggal waktu itu :
“Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku. Saban hari aku
melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya diberi
kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan,
keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk
cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan
sampai terbang Indonesia Merdeka."
Rumah Sakit Fatmawati pada mulanya bernama Rumah Sakit Ibu Soekarno,
terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Wilayah
Jakarta Selatan, Didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno.
Semula direncanakan untuk dijadikan sebuah Sanatorium Penyakit Paru-paru
bagi anak-anak. Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan
pembiayaan rumah sakit diserahkan kepada Departemen Kesehatan sehingga
tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi RS Fatmawati. Dalam
perjalanan RS Fatmawati, tahun 1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan
Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai RSU Kelas B
Pendidikan.
Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati, Pemerintah Daerah beserta seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu Fatmawati. Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu Fatmawati, maka pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling diubah menjadi Bandar Udara Fatmawati. Perubahan nama Bandar udara ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri. Perjuangan Ibu Fatmawati selama masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.
Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati, Pemerintah Daerah beserta seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu Fatmawati. Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu Fatmawati, maka pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling diubah menjadi Bandar Udara Fatmawati. Perubahan nama Bandar udara ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri. Perjuangan Ibu Fatmawati selama masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.
Tidak ada komentar